Workshop Jemparingan Semarakkan Bulan Hardiknas di Benteng Vredeburg

DIY – medialidikkrimsus-ri.net // Puncak acara semarak Hardiknas 2024 berlangsung 3 hari, Jumat hingga Minggu (24-26/05/24) di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Pada hari pertama, Jumat (24/05/24) salah satu kegiatan yang menarik adalah Workshop Jemparingan.

Kegiatan ini merupakan upaya Kemdikbudristek untuk mengkampanyekan jemparingan sebagai salah satu olahraga panahan tradisional di Indonesia. Hadir dalam workshop ini, Tukiman, Wakil Ketua 1 Bidang Jemparingan dalam kepengurusan Perpatri pusat.

Jemparingan menurut Tukiman berasal dari kata jemparing yang artinya anak panah. Menjadi permainan olahraga kemudian disebut jemparingan.

”Dahulu hanya dimainkan di kalangan Keraton Kasultanan Yogyakarta, saat ini dikembangkan di masyarakat bahkan telah meluas secara nasional,” ujarnya. Federasi olahraga jemparingan bernama Perpatri Nusantara Jaya artinya Perkumpulan Panahan Tradisional Nusantara Jaya yang telah memiliki 21 Pengda di Indonesia.

”Perpatri bertujuan untuk mengangkat kembali panahan tradisional yang ada di Indonesia,” jelasnya. Jemparingan, menurut Tukiman menggunakan pakem gaya Mataraman Yogyakarta, namun demikian dalam kejurnas peserta mengenakan pakaian daerah masing masing.

”Panahan tradisional selain jemparingan Jogja , juga ada kasumedangan, gagrak Mataram (jegulan).
Dijelaskannya, kendati sama-sama berpakem Yogyakarta, namun ada beberapa perbedaan antara jegulan dengan jemparingan.

”Jegulan saat menembakkan anak panah, posisi busurnya horizontal, sedangkan jemparingan posisi busurnya miring,” katanya. Perbedaan lainnya, pada jegulan (gagrak Mataram) jarak sasarannya 35 meter, sedangkan jemparingan jaraknya 30 meter.

Bentuk sasaran relatif sama, panjangnya juga sama 30 cm, namun diameternya berbeda. Diameter sasaran pada gagrak Mataram 5 cm, sedangkan jemparingan 3 cm.

Pada zaman dahulu, kavaleri Mataram dikenal efektif dalam peperangan. Mereka menggunakan busur horse bow berbahan kayu walikukun untuk perang berkuda.

Busur perang berkuda berbahan kayu ala Mataram menurut Tukiman ada di Museum Sonobudoyo. ”Busur itu dahulu digunakan Pengeran Diponegoro, bentuknya kendati belum dipasang tali sudah melengkung mirip tanduk kerbau,” ungkapnya.

Menurut Tukiman, busur kasumedangan juga didesain untuk perang. ”Busur kasumedangan yang dahulu dimiliki Pakualam I masih ada, ujungnya runcing, sehingga saat kehabisan anak panah dapat digunakan sebagai senjata,” urainya

Olahraga panahan termasuk jemparingan, menurut Tukiman bagus untuk anak anak. ”Manfaatnya merangsang anak untuk berpikir lebih cepat, maka cocok untuk menjadi kegiatan ekstra kurikuler di sekolah,” jelasnya.

Melalui jemparingan, menurut Tukiman anak-anak usía sekolah akan memahami filosofi pamanthenging gandewo pamanthenging cipto. “Maknanya sangat luhur, segala perbuatan manusia dalam hidupnya harus ditujukan kepada Tuhan,” tandasnya.

Tukiman juga menjelaskan seputar peralatan olahraga jemparingan. Bagian-bagian dari busur terdiri dari cengkolak (handle) yang digunakan untuk pegangan.

Bambu panjang dari busur disebut lar, pada ujungnya ditambah kayu kandelan atau siyah. Busur juga dipasang tali yang disebut sendheng, bahannya dari tali dachron .

Anak panah bambu disebut deder, di luar Yogyakarta disebut shaff. Sedangkan mata panah disebut bedor, pada pangkalnya dipasang nock atau nyenyep. Wulu dipasang pada deder dengan fungsi sebagai stabilizer.

Pada workshop ini para pengunjung diberi kesempatan untuk belajar dan praktik panahan tradisional dibimbing para pegiat jemparingan. Usai workshop, kegiatan dilanjutkan dengan lomba jemparingan yang diikuti 50 pegiat olahraga ini dari seluruh DIY.

~ Jorkfan’s ~

Related posts

Leave a Comment